Jumat, 09 Desember 2016

Jaringan Internet Kuat Bikin Bandung E-Sport Competition Ketagihan dengan MNC Play


BANDUNG - MNC Play kembali dipercaya menjadi official broadband partner dalam event Bandung E-Sport Competition yang digelar di Bandung Electronic Center (BEC), Kota Bandung, Sabtu (19/11/2016).

Event kali ini merupakan rangkaian puncak alias grand final. Di Bandung, event tersebut adalah yang kedua kalinya setelah sebelumnya menjadi tuan rumah di babak penyisihan.

"Kami sebagai official broadband partner, men-support koneksi internet di sini, dimana karena online, mereka butuh kestabilan dan kecepatan internet, makanya mereka memilih kembali kita sebagai official broadband partner," kata Branch Head MNC Play Bandung Edwin Sukisman.

Dijelaskannya, panitia dan peserta merasa puas atas layanan koneksi internet yang disediakan oleh MNC Play. Hal tersebut menjadi alasan mengapa panitia kembali merangkul MNC Play untuk mendukung kegiatan tersebut.

"Karena MNC Play sebelumnya jug men-support sebagai penyedia internet, mereka puas, mereka minta kita untuk men-support kembali acara ini. Tentunya kita berharap ini berkesinambungan untuk kedepan," jelasnya.

Sementara dalam kegiatan itu, ada beberapa game online yang dipertandingkan dengan ratusan peserta, di antaranya 'Dota E', 'Point Blank Mobile', 'Vainglory', serta beberapa mobile dan PC game lainnya.

Ketua Penyelenggara Bandung E-Sport Competition, Bahari Indra Prabowo, antusias dengan penyelenggaraan kali ini. Apalagi kegiatan itu kembali didukung oleh MNC Play yang ikut mendukung kelancaran akses internet.

"Kami mengucapkan terima kasih kepada MNC Play atas kesetiaannya dalam memanjakan komunitas gamers di Kota Bandung. Kami berharap kerjasama ini terus berlanjut, terutama untuk meningkatkan ketertarikan pada industri gamedan teknologi berbasis internet di Indonesia," jelas Bahari.


Source link

WNI di Swiss Kesulitan Ikut Tax Amnesty Karena Hal Ini



Liputan6.com, Jakarta Keinginan warga Indonesia mengikuti Program Pengampunan Pajak (tax amnesty) tak selalu berjalan mulus. Seperti diungkapkan Pengamat Perpajakan sekaligus Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo.

Dia menuturkan, ada Warga Negara Indonesia (WNI) yang ingin mengalihkan dananya (repatriasi) dari Swiss ke Indonesia sebesar Rp 150 triliun. Sayangnya, WNI ini mengalami kendala dengan isu status Indonesia sebagai negara rawan pencucian uang dari Financial Action Task Force (FATF).

"Kenapa belum ada dana repatriasi dari Swiss?. Padahal banyak orang Indonesia simpan dana di Swiss, terutama pejabat Orde Baru," ujar Yustinus saat Media Gathering Ditjen Pajak di Hotel Atria, Malang, Kamis (13/10/2016).

Menurutnya, minim dana repatriasi dari Swiss karena Indonesia masih terganjal isu status negara rawan pencucian uang oleh FATF. FATF merupakan satgas yang dibentuk untuk memerangi atau memberantas tindak pencucian uang, uang yang berasal dari terorisme, perdagangan manusia, serta praktik kejahatan lainnya.


"Jadi karena kita belum selesai dengan FATF, jadi uang dari Swiss masih dianggap uang kejahatan. Ini belum diputus, padahal kemarin oleh-oleh Sri Mulyani infonya sudah melobi FATF supaya ini bisa lolos," jelas dia.

Yustinus mencontohkan kisah nyata dari grup WNI yang diakui berniat merepatriasi dananya dari Swiss senilai Rp 150 triliun ke Indonesia. Namun mereka mengalami kesulitan, bahkan Bank Indonesia (BI) pun menolaknya.

"Ada informasi dari satu grup, mereka cerita sendiri ke saya mau repatriasi Rp 150 triliun dari Swiss, tapi kesulitan. BI pun tidak bisa menerima, sebab regulasi belum diubah. Padahal ini peluang dan aka sangat baik jika uang itu bisa masuk ke sini," dia melanjutkan.

Untuk diketahui, dana repatriasi program pengampunan pajak yang berasal dari Swiss mencapai Rp 677,1 miliar hingga periode September 2016. Tertinggi berasal dari Singapura dengan jumlah repatriasi Rp 6,27 triliun, sedangkan Australia mencapai Rp 124,72 miliar, Amerika Serikat Rp 86,24 miliar dan British Virgin Islands dengan repatriasi Rp 32,66 miliar.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa Indonesia tidak masuk daftar hitam (black list) atau daftar abu-abu (greylist) Financial Action Task Force (FATF) sebagai negara rawan pencucian uang. Hal ini menyusul pelaksanaan program pengampunan pajak (tax amnesty) di Indonesia dan telah dijelaskan kepada Sri Mulyani kepada pimpinan FATF.

‎"Posisi Indonesia tidak di-black list atau grey list. Kita sudah di luar itu," ucap Sri Mulyani.

Sri Mulyani mengatakan Indonesia juga harus menjelaskan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tax Amnesty kepada dunia internasional, termasuk FATF bahwa program ini sama sekali bukan bertujuan untuk memfasilitasi uang-uang dari praktik kejahatan kriminal pencucian uang, perdagangan narkoba dan manusia, serta pendanaan terorisme.

"Indonesia di bawah ‎Menkopolhukam dan peraturan Menkeu, UU Tax Amnesty tidak dipakai untuk disalahgunakan bagi mereka lewat cara pencucian uang, drugs and human trafficking, terorism. Penjelasan sangat penting dalam rangka Indonesia ingin menjadi anggota FATF‎," ujar Sri Mulyani.

Dia mengatakan, pemerintah akan memperkuat koordinasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam pengawasan gateway (institusi penampung dana repatriasi tax amnesty) baik di perbankan, manajer investasi, perusahaan sekuritas.

"Kita perkuat aturan OJK karena semua gateway di bawah supervisi OJK. Serta perkuat koordinasi dengan aparat hukum di bawah Menkopolhukam," tegas dia.(Fik/Nrm)


Source link

KPK, KPPU & Ditjen Pajak Diminta Selidiki Perang Tarif Operator



Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, didesak segera turun tangan untuk mencegah kerugian negara akibat perang tarif seluler.

Hal ini diklaim merupakan imbas dari polemik antar-operator yang dipicu revisi PP 52/53 Tahun 2000 tentang telekomunikasi.

Di satu sisi, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, tujuan revisi ini agar industri telekomunikasi nasional bisa mendapatkan efisiensi.

Namun di sisi lain, Ahmad Alamsyah Saragih, Komisioner Ombudsman justru berpendapat bahwa revisi PP 52/53 tahun 2000 malah akan menciptakan inefisiensi. Bahkan dampaknya lebih luas lagi dan berpotensi merugikan negara.

Menurutnya, revisi PP ini seolah-olah membuat efisiensi, padahal hanya terjadi pada sebagian operator saja. Di sisi lain bisa membawa kerugian multiplier effect bagi industri telekomunikasi.

"Jadi secara agregat tidak menguntungkan sektor telekomunikasi. Itu yang menjadi perhatian dari Ombudsman,” ujar Alamsyah melalui keterangan tertulisnya, Kamis (13/10/2016) di Jakarta.

Bahkan, menurutnya, revisi PP 52/53 tahun 2000 ini cenderung berpotensi merugikan keuangan negara dan dapat menimbulkan maladministrasi.


Salah satu bukti maladministrasi yang akan terjadi adalah adanya perang tarif antar-operator telekomunikasi.

“KPK harusnya bisa memeriksa operator telekomunikasi yang melakukan perang tarif ini. Karena ada potensi kerugian negara maka KPK bisa memeriksa praktik perang tarif yang merugikan negara tersebut,” terang Alamsyah.

Selain KPK, menurut Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), KPPU dan Ditjen Pajak juga dapat segera memeriksa operator telekomunikasi yang melakukan perang tarif.

"Sebab perang tarif yang dilakukan oleh operator telekomunikasi mengarah ke predatory pricing yang berpotensi mengurangi pendapatan negara dari pajak," katanya.

Ketika operator menjual harga produknya di bawah harga pokok penjualan, akan membuat operator merugi. Jika merugi maka operator tak membayar pajak.

Akibatnya, negara tidak bisa melakukan belanja publik. Menurut Yustinus, predatory pricing yang rugi sebenarnya publik secara luas.

Perang Tarif

Diketahuinya, saat ini tercatat perang tarif terjadi di dua operator. Beberapa waktu yang lalu, XL Axiata mengeluarkan promosi Rp 59 per menit untuk tarif telepon antar-operator. Sebelumnya, Indosat Ooredoo mengeluarkan tarif promosi Rp 1 per detik untuk tarif telepon antar-operator.

Selain mengeluarkan tarif promosi, Indosat dan XL juga mengeluarkan paket bicara antar-operator yang dijual di bawah harga pokok produksinya. Indosat mengeluarkan paket telepon ke semua operator sebulan dengan kuota 600 menit dibanderol Rp 135 ribu atau setiap menit Rp 225 per menit.

Sementara XL mengeluarkan paket telepon ke semua operator sebulan dengan kuota 600 menit seharga Rp 120 ribu atau Rp 200 per menit.

Jika merujuk penetapan tarif interkoneksi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 250 per menit, ini artinya kedua operator itu melakukan dumping atau menjual produknya di bawah harga pokok penjualan (HPP).

Merujuk aturan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), tarif retail adalah biaya interkonkesi ditambah operasional perusahaan ditambah margin. Berdasarkan aturan tersebut, seharusnya tarif telepon antar-operator minimal adalah Rp 500 per menit.

Perhitungan itu didapat jika mengambil asumsi dari biaya terminasi (biaya interkoneksi tujuan pelanggan Rp 250) dan originasi (biaya interkoneksi asal pelanggan Rp 250). Operator bisa menurunkan biaya originasi tergantung dari kebijakan manajemen.

Jika Indosat dan XL menjual paket telepon ke semua operator masing-masing Rp 225 per menit serta Rp 200 per menit, ini artinya dua operator telekomunikasi tersebut menjual layanannya di bawah biaya produksi mereka.

(Isk/Cas)


Source link

All Site I have

nextutorial.net ceblog.net manfaats.net alamsehat.net caraindo.net alamindo.net rencanaku.net somestep.net vilhealthy.net topmedianews.net asktous.net syahaulia.net carakita.net goviralmedia.net newzera.com alaminfo.com wayofway.com www.tipsindo.com www.caraindo.com bermanfaat.web.id andronexus.web.id mytekno.web.id